Bahasa (dan) Perang






Disclaimer: Riset kecil-kecilan dan asal-asalan yang saya lakukan ini cuma gothak-gathuk saya aja, berdasarkan arsip-arsip yang saya temukan di internet.  Kemungkinan banyak opini saya yang ngawur.  Maafkan saya.


***

Tanpa kemampuannya berbahasa Melayu dan Arab, Snouck Hurgronje tidak mungkin bisa diterima oleh masyarakat Aceh dan Belanda tidak mungkin bisa menguasai daerah ini.

Tanpa kefasihannya berbahasa Indonesia dan Jawa, Benedict Anderson tidak mungkin bisa menulis buku-bukunya tentang Indonesia.

Tanpa keahliannya berbahasa Jawa halus, Franz Magnis-Suseno tidak mungkin menulis buku Etika Jawa-nya.

Dan mungkin, tanpa adanya ahli bahasa Indonesia di tentara Australia, mungkin mereka nggak akan sesukses itu memporak-porandakkan Timor-Timur.

***


Dari pengalaman saya belajar dan bekerja di ranah EFL (English as Foreign Language), akuisisi bahasa (language acquisition) itu nggak pernah netral.  Para tetua saya yang ahli di bidang ini selalu menegaskan bahwa ketika kita belajar satu bahasa asing, kita pasti belajar tentang bagaimana para penutur asli memaknai dunia mereka, dan secara nggak langsung, memahami aspek-aspek kehidupan mereka.  Kalau teman-teman suka linguistik, pernyataan ini adalah hipotesisnya Sapir-Whorf.

Hipotesis inilah yang menurut saya penting dalam perjalanan akademik para Indonesianis macam Clifford Geertz, Benedict Anderson, Franz-Magnis Suseno, M.C. Ricklefs, dan banyak tokoh lainnya dalam menuliskan karya-karya mereka tentang Indonesia.  Bahasa Indonesia menjadi sebuah pintu gerbang dalam usaha-usaha mereka menelisik filsafat-filsafat orang Indonesia, yang kemudian mereka rumuskan melalui cara pandang mereka sebagai sang liyan.

Secara dekonstruktif, sayangnya, pernyataan di atas menjadi pedang bermata dua.  Alasannya, ketika seseorang khatam dalam sebuah bahasa asing, seakan-akan mereka dapat berintegrasi dengan orang asli (natives), dan itu bisa digunakan untuk keperluan yang baik atau buruk.

***
Sewaktu saya melakukan olah pikir (brainstroming) untuk menulis blog yang terakhir ini, mula-mula saya tertarik untuk mewawancarai teman kerja saya, Annika dari Australia.  Saya tanya ke mbak ini apakah belajar bahasa Indonesia itu sulit, dan apakah bahasa Indonesia itu penting.  Tetiba di pertanyaan kedua, ada satu pernyataan yang membuat saya mengernyitkan dahi: "Ya menurut saya penting, sih.  Adik saya kerja di departemen pertahanan di Australia, dan dia harus belajar bahasa Indonesia."

Satu pernyataan tersebut membuat saya penasaran.  Militer Australia? Bahasa Indonesia?

Singkat cerita, saya kemudian menemukan beberapa sumber artikel yang membahas tentang dua hal ini, dan kasus Timor-Timur muncul dalam dua makalah.  Salah satu makalah berjudul Australia's East Timor Experience: Military Lessons and Security Dilemmas, terdapat satu bagian yang menyebutkan betapa pentingya ahli bahasa (language specialists) dalam kasus Timor-Timur yang berdarah tersebut:

In these operations the judgement of junior officers was crucial, and the resolution of problems greatly facilitated by the presence of language specialists amongst the INTERFET personnel.

Di negara manapun di dunia ini, para pihak yang terlibat dalam perang antar-negara selalu memiliki anggota militer yang ahli bahasa negara musuh. Di era Perang Afghanistan, pasukan militer Amerika Serikat selalu didampingi oleh anggota mereka yang bisa bahasa Arab.  Di area-area konflik di Afrika, pasukan PBB juga siap sedia dengan para ahli bahasa yang mampu berkomunikasi dengan bahasa lokal.  Dan apakah mereka digunakan untuk kepentingan yang baik? bisa jadi ya, bisa jadi nggak.  sayangnya, di arena perang kita nggak bisa jadi orang yang hitam-putih.

Praktek ini juga pasti dilakukan dalam kasus Timor-Timor dan sayangnya, seringkali kita abai, atau justru tidak tahu menahu tentang aspek ini.  Kita tahunya ya bangga kalau ada bule yang bisa bahasa Indonesia, dipikirnya mereka menghargai kebudayaan kita, dan bahkan kita dibikin malu dengan pernyataan "Orang bule aja pakai bahasa Indonesia, masa kamu nggak?".  Pengin banget saya tampar orang-orang macam ini dengan sandal swallow saya.

Jadi, di tulisan saya yang asal-asalan ini, saya melihat bahwa bahasa Indonesia itu penting, tapi kata 'penting' di sini menjadi problematik karena perlu dilihat untuk siapa bahasa tersebut digunakan, dan untuk kepentingan semacam apa bahasa ini dipelajari.



***

Saya mau berterimakasih untuk teman-teman BBKU yang sudah membaca unggahan saya sampai saat ini (pret gayamu Sin kaya orang penting aja).  Saya belajar banyak untuk berpikir di luar kotak berpikir saya yang sempit ini.  Saya suka sekali membaca gaya tulisan teman-teman yang berbeda dan tulisan-tulisan kalian BAGUS BANGET.

Maafkan saya Admin, kadang saya bolong-bolong, atau bahkan baru mengunggah di waktu tengah malam.  Maaf banget.

Makasih untuk kuliah-kuliah Pak Budiawan yang sedikit banyak jadi inspirasi saya untuk menulis blog-blog saya (wah Sin kowe dadi penjilat kelas kakap yo)

***


Catatan: ini dua artikel yang saya temukan untuk blog ini
Australia's East Timor Experience: Military Lessons and Security Dilemmas
Cross-Cultural awareness and second language learning in the Australian Defence Force

Comments

Popular posts from this blog

That Time When I Crossed The Malaysian landborder

Makan Film dengan Babish